125.660 Spesimen Sejarah Alam : Kacamata 'Kekinian' Untuk Wallace

Oct 9, 2015

125.660 Spesimen Sejarah Alam : Kacamata 'Kekinian' Untuk Wallace


Dok. Salihara
Dua baju putih itu dipajang berdampingan. Yang satu bermotif aneka flora khas Indonesia dan kupu-kupu berbagai warna dari material kayu. Cantik, tak terganggu. Baju lainnya tampak serupa, padahal berbeda. Mengetengahkan rupa beberapa pulau besar di Indonesia secara acak dan menjadi tempat hinggap kupu-kupu -yang kali ini dibuat dengan teknologi cetak digital. Itulah sepasang baju yang membawa pesan perbedaan kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia; antara masa lampau dan saat ini. 

Lewat karya berjudul Svara Nusantara itu, perupa Intan Prisanti mencoba menginterpretasikan perjalanan Alfred Russel Wallace di Nusantara dahulu melalui fakta yang terjadi hari ini. Sejumlah catatan yang dibuat Wallace di masa lalu menyajikan gambaran tentang aneka ragam kupu-kupu berupa cantik, mengisi alam Indonesia. Namun kini, mudah kita temui catatan berkurangnya populasi kupu-kupu seiring dengan menyusutnya kawasan hutan di Indonesia. 

Alfred Russel Wallace (1823-1913) adalah naturalis Inggris yang menginspirasi Charles Darwin dalam menyempurnakan teori evolusinya, yang berkaitan dengan gagasan seleksi alam. Makalah-makalah Wallace yang ''mencerahkan'' Darwin itu ditulis dalam kurun eksplorasinya di bumi Nusantara selama delapan tahun (1854-1862). 

Wallace menjelajahi Nusantara, mendokumentasikan keanekaragaman hayatinya, dan mengumpulkan koleksi spesimen-spesimennya. Wallace mengklaim telah menemukan 125.660 spesimen untuk menopang pendapatnya tentang Nusantara sebagai megabiodiversity

Dalam makalahnya yang berjudul ''On the Zoological Geography of the Malay Archipelago'', yang diterbitkan dalam jurnal Linnean Society, Wallace menuliskan pengamatannya mengenai keragaman dan penyebaran satwa, serta tumbuhan untuk mengidentifikasi dua wilayah biogeografi yang berbeda: barat dan timur. Dua wilayah ini rupanya terpisah oleh batas alam yang tegas. 

Perbedaan itu relevan dengan tarikan garis hipotetik yang ''mengiris'' peta Indonesia dari ujung utara (mulai Selat Makassar yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi) hingga ujung selatan (Selat Lombok yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Lombok). Delapan tahun setelah makalah itu dipublikasikan, Thomas H. Huxley, ahli anatomi, menyebut garis imajiner itu sebagai "Garis Wallace" atau "Wallace's Line".
Lebih 150 tahun setelah perjalanan besar Wallace itu, ada garis faktual yang tegas membedakan kondisi keanekaragaman hayati Indonesia; eksistensi dan kepunahan. Berangkat dari kondisi kepunahan sebagai situasi kontemporer itu, Intan dan 25 perupa lainnya menggarap karya-karya seni rupa untuk dipajang dalam pameran bertajuk "125.660 Spesimen Sejarah Alam'' di Galeri Salihara, Jakarta, 15 Agustus-15 September 2015 lalu.
Secara eksplisit, duo kurator pameran ini, Etienne Turpin dan Anna-Sophie Springer, menempatkan spesimen-spesimen temuan Wallace sebagai narasi protagonis. Ratusan spesimen koleksi Pusat Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut mewarnai ruang pamer. Dari berbagai spesimen burung, capung, kupu-kupu, kumbang, sampai binatang mamalia seperti orangutan dan harimau sumatera. 

Selain itu, dinding ruang pamer Galeri Salihara pun ditempeli oleh foto-foto jepretan Fred Langford Edwards. Foto-foto itu adalah hasil proyek panjang Edwards dalam memetakan dan mendokumentasikan spesimen asli penemuan Wallace dalam koleksi zoologi Inggris. Di antaranya terdapat koleksi milik Natural History Museum of London and Tring, Cambridge University Museum of Zoology, World Museum Liverpool, juga Linnean Society of London yang menyimpan buku catatan asli Wallace. 

Para seniman dibebaskan untuk mempersempit fokusnya terhadap perubahan penggunaan lahan alam saat ini dengan menggunakan deskripsi mendetail milik Wallace. Contohnya, Ari Bayuaji, lewat karyanya berjudul Paradise Almost Lost yang menyajikan gambaran alam masa kini dalam empat buah foto. 

Termasuk sebuah foto yang menipu seperti fatamorgana. Yang dari jauh terlihat seperti gambaran burung-burung cantik bertengger di antara rerantingan pohon. Ternyata, dari dekat itu adalah gambaran plastik-plastik bekas berbagai warna yang tersangkut di pepohonan. Sebuah karya yang satir. 

Secara teknis, pameran ini menyandingkan karya seni dengan materi arsip. Di antara pesan yang hendak diikemukakan melalui persandingan itu adalah mempertanyakan pergerakan pengetahuan dalam mentransformasi lingkungan melalui praktek kolonialisme dan problem-problem kontemporer. 

Perupa Andreas Siagian, misalnya, mencoba menuturkan kisah kepunahan dua sub-spesies, harimau jawa (Panthera tigris Sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica), yang dinyatakan telah punah pada pertengahan abad ke-20. Serta, sub-spesies harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang kini terancam punah. 

Lewat karya berjudul Loreng: Kisah dari Jejak Citra Harimau Indonesia, Andreas menghadirkan penelusuran dokumentasi visual dari masa lampau yang merekam tahap-tahap kepunahan harimau di Indonesia. Sebagian besar isinya menggambarkan kekejaman praktek kolonial terhadap harimau-harimau di Indonesia. Seperti gambaran seekor harimau sumatera yang diikat dengan keras di depan kap mobil para meneer.
Konon, pada awal 1900-an, harimau dianggap sebagai ''hama'' karena populasinya yang dinilai sangat tinggi. Maka, para meneer dari perusahaan-perusahaan asing di Indonesia kala itu, menyewa para pemburu untuk menangkap harimau-harimau yang berkeliaran supaya terlindungi area lahan miliknya. 

Turpin menyebutkan bahwa pada awalnya kehancuran keanekaragaman hayati di Indonesia, mau tidak mau, berkaitan erat dengan praktek kolonialisme. Seperti rekaman foto seekor harimau jawa yang digantung terbalik layaknya kambing guling, yang di sekelilingnya tampak mereka --kaum kulit putih-- berdiri santai namun pongah.
Meski demikian, strategi penyajian pameran ini pada satu sudut pandang tertentu membuat aspek seninya tenggelam dalam pernyataan-pernyataan ilmiahnya. Sophie menyebut proyek pamerannya ini sebagai skenario ''seni/ilmiah''. Caranya, dengan menempatkan karya seni dan ilmu eksak dalam satu ruangan. Menurutnya, strategi itu akan membuka kesempatan yang menakjubkan kepada publik untuk mengetahui cara medium pameran dijadikan sebagai wadah penelitian. 

"Pameran yang memorable adalah pameran yang membuat kita kesulitan memahami apa yang sebenarnya kita lihat," kata Sophie.